Hello... Responsival Theme is another template for Blogger users. PLAY with this responsive design and SEE the release on my blog.

6 Des 2009

Kegilaan Yang menggila

Entah apa yang harus kutulis, apa yang mesti ku lakukan, dan membaca situasi yang kian hari kian menggilla. Kau tahu sobat, kemarin aku menemukan sesuatu yang membuatku berdecak kagum. Bukan. Bukan, bukan. Kau tahu, masa tak tahu. Dia adalah sebuah tanda tanya besar yag akan membuka lebar jantung haiku nanti. Yah, seorang gadis manis, dengan ukiran lesung di pipi merahnya. Aduhai.....cantiknya. Jika orang lain bilang aku jatuh cinta. Tidak bagiku. Lantas!.
Lebih dari jatuh. Ah..tak usah di bahas aku saja tak tahu apa yang harus aku katakan kepadamu sobat, bukan malu. Tapi rasa keingintahuan yang sungguh besar kepadanya. Seperti membelai angin yang terlalu lembut, untuk ku pegang. Menyapanya membuatku tampak seperti terhunus keindahannya.
Semoga apa yang aku rasakan ini adalah sebuah hakikat manusia untuk memiliki.

4 Des 2009

Lesung Pipit

Beberapa minggu yang lalu aku terlihat seperti hantu "menakutkan". Katanya sambil tersipu malu. Ah rasanya aku menyadari. Mungkin sebagian orang akan berstigma cowok gondrong itu identik dengan semrawut, nakal, atau yang lebih miris kriminal. Memang itu pilihan kita terserah, lah wong "bapake mamane" aku saja ga ngomel-ngomel. Itu sekarang waktu dulu awal-awal aku merintis usaha melestarikan usaha perawatan rambutku, ya sperti itu. Ngomel-ngomel terus bapak ibu.
"Kamu itu "cagur" mbok ya dandanane sing patut".
"Inggih pak...".
Ya seperti itulah, prolog dari cerita ini.
Lesung pipit itu kembali membutakan  mataku. Rasanya tak ingin aku melewatkan sedetikpun untuk mengalihkan mata ini. Sayang jika terlewat bisa-bisa dia terburu pergi. Gadis kerudung putih itu kembali membuatku tercabik rasa takjub. Kembali lesung pipit itu membutakan mataku. Jadi ingat dengan sebuah cerita Romawi kuno, Odipus yang membutakan matanya gara-gara dia jatuh cinta pada seorang wanita. Ternyata wanita itu ibunya sendiri. Ya, sungguh Dia sang Maha Perfect yang telah menciptakan makhluk yang satu ini, dengan keistimewaannya masing-masing.
Ohhhhhh.......
Tulung...tulung...
Rasanya untuk posting yang satu ini, hanya sampai disini dulu.


to be continued

18 Nov 2009

Salawat untuk Pendakwah Kami


Cerpen: Martin Aleida
Rumahtoko bercat merah di kedai panjang itu dikenal penduduk kota kecil kami sebagai satu-satunya penjual kopiah. Lepas salat subuh, toko itu tiba-tiba telah berubah menjadi rumah duka. Haji Johansyah Kuala meninggal mendadak. Mula-mula dia mengerang setelah mengucapkan Assalaamu ‘alaikum ke kanan dan ke kiri. Dia tergagap. Tergapai-gapai mencoba berbicara, tetapi yang terdengar hanya suara serak menggelegak yang meruyak dari pita suaranya yang terjepit. Istrinya seperti melompat merapat ke sisinya. Tetapi, sang suami malah mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh pendamping hidupnya yang abadi itu supaya menjauh. Dia mengeluh kepanasan. Dan, tiba-tiba kepalanya terkulai, dan dia tumbang mencium sajadah sambil merangkul dadanya kuat-kuat. Kopiahnya terlempar beberapa jengkal. Istrinya memegang, menimang, dan memekik sambil memeluk kepalanya. Pekik itu menjadi sangkakala kedua yang membangunkan kota kami setelah seruan azan tadi.
Kini, ratap tangis mengiba-iba tiada hentinya di toko yang juga berfungsi sebagai tempat tinggal itu. Terjadi kesibukan luar biasa. Meja kursi disingkirkan. Lemari-lemari kaca yang tua tetapi berwibawa, tempat kopiah berbagai warna dan ukuran bertengger selama ini, dipepetkan ke dinding, kemudian ditutup dengan kain putih. Bagian depan rumah itu, yang biasanya menjadi gelanggang pertemuan Haji Johansyah Kuala dengan para pelanggan dan pembelinya, sekarang menjadi tempat yang lapang. Jasad tuan rumah sudah diturunkan dari lantai atas dan dibujurkan di situ. Di wajahnya sudah tak tampak sisa-sisa perkelahian yang singkat tetapi mematikan dengan maut. Sebaris senyum tergurat di bibirnya yang legam membeku. Matanya yang ramah dan selalu merangsang penghuni kota tertawa sekarang terbenam di balik kelopak yang malas.
Kabar tentang kematian pedagang kopiah itu dengan cepat menular ke seluruh penjuru kota. Tetapi, ini bukan kabar kematian orang sembarangan. Walau Haji Johansyah Kuala bukan seorang penganjur agama yang berpengaruh dan disegani. Bahwa dia adalah juga seorang pendakwah memang benar. Tetapi, sebagai penganjur dia punya cara sendiri. Bagaimana membuat umat, terutama kaum kerabat, tertawa terbahak berkepanjangan, dan terbawa-bawa sampai menjelang tidur, itulah kehendaknya, misinya, panggilannya sebagai seorang haji. Karena lelucon-lelucon yang diciptakannya menjadi buah bibir dan bertahan lama di hati umat, maka teringat akan namanya saja orang bisa mesem-mesem sendirian menahan tawa.
Haji Johansyah Kuala meninggal. Ah… siapa pula yang percaya. Ada semacam campuran perasaan mengilik dan duka yang menyentak begitu kawan-kawan dekatnya mendengar kabar kemalangan itu. Jangan-jangan ini hanya permainan Haji Johansyah Kuala lagi untuk menggelitik warga kota, begitulah pikir mereka. Semua pasang kuda-kuda, jangan sampai ada yang termakan permainan. Semua mengirim pembantu, atau malah anak sendiri, untuk mengintai bahwa tokoh mereka itu tidak sedang melemparkan lelucon, dan bahwa dia memang benar-benar telah tiada…
Haji Johansyah Kuala menemukan panggung yang tepat di kota kecil kami, yang dijepit dua batang sungai yang besar, dan dua daerah rawa yang perawan sepanjang masa. Membuat kota jadi pemukiman yang masif. Penduduk saling mengenal.
Tidak sebagaimana para pedagang Tionghoa yang semata-mata mengandalkan penghasilan dari perdagangan yang berpusat di wilayah kedai panjang itu, orang-orang Melayu yang bertempat tinggal dan berniaga di situ juga menguasai perkebunan kelapa yang luas. Boleh dikatakan berdagang buat mereka adalah pekerjaan sambilan. Tak terkecuali Haji Johansyah Kuala.
Sehari-hari Pak Haji kita itu tidak begitu sibuk. Kopiahnya baru berjibun dikerumuni pembeli pada hari-hari menjelang Idul Fitri atau hari raya haji. Karena itu dia punya banyak waktu. Juga ilham. Garis keturunannya membuat dia seorang warga yang tak perlu diragukan kata-katanya. Ayahnya, yang mewariskan toko kopiah itu, melaksanakan ibadah haji dengan mengendarai sepeda. Dia menyeberang ke Semenanjung Malaya waktu itu, dan dari sana mengembara dengan sepedanya sambil menuntut ilmu sepanjang perjalanan ke tanah suci. Pulang-pulang dia membawa kemahiran yang membikin orang tercengang dan kagum: khatam Al Quran. Dia juga jadi pawang yang andal. Kalau polisi kewalahan mengatasi harimau yang mengganas dan memangsa penderes karet di wilayah sempadan, maka dialah yang dipanggil untuk menjinakkan binatang buas itu. Dia menaklukkan binatang itu dengan mengibas-ngibaskan sorban yang dia beli di Pakistan. Johansyah Kuala sendiri sudah melaksanakan ibadah haji ketika dia masih remaja, dengan menumpang kapal laut. Sejarah keluarga dan sikapnya yang selalu menunjukkan keinginan bersahabat, membuat dia jadi tumpuan orang yang sedang memerlukan bantuan.
Adalah seorang laki-laki setengah baya yang mampir ke tokonya. Bukan untuk membeli kopiah, tetapi meminta nasihat. Soalnya, dua gigi depannya rompal diterjang kelapa yang jatuh dia kait. Orang yang malang itu terus-menerus menyembunyikan ompongnya dengan menutup mulut dengan tapak tangan. Haji Johansyah Kuala menganjurkan orang itu berangkat ke Medan untuk memasang gigi palsu. Diberikannya uang pembeli gigi palsu dan ongkos perjalanan secukupnya. Dengan satu syarat: dia tak boleh menutup mulut menyembunyikan ompongnya sepanjang perjalanan.
Mula-mula orang itu malu dan ragu-ragu mendengar tawaran tersebut. Tetapi, Haji Johansyah Kuala memberi nasihat yang menarik, dan bisa dia terima. Begini. Sepanjang perjalanan ke Medan, dengan menumpang kereta api, kalau ada yang bertanya dia mau ke mana, maka untuk menyembunyikan ompongnya dia supaya mengatakan bahwa tujuannya bukan Medan, karena dengan melafalkan nama kota itu, maka bibirnya akan terbuka dan akan mengangalah giginya yang ompong.
“Kalau ada yang menyapa dan bertanya, jawablah bahwa kau mau ke Lubuk Pakam,” ujar Haji Johansyah Kuala. Dengan mengucapkan nama kota itu, maka praktis mulutnya akan tertutup. “Waktu pulang nanti, kau boleh bersorak. Kalau ada yang bertanya, jawab saja sekenanya, bahwa kau mau ke Batangkuis. Ya, Batangkuis….” Itu artinya dengan menyebutkan kota kecil itu, maka dia akan punya kesempatan untuk memamerkan gigi barunya.
Walhasil, begitulah jadinya. Dalam perjalanan ke Medan dia menyebutkan tujuannya adalah Lubuk Pakam. Ompongnya pun tersembunyi. Dalam perjalanan pulang tujuannya adalah Batangkuis. Dengan begitu gigi palsunya kelihatan berkilau, meskipun kota itu sudah tertinggal jauh di belakang.
Di kota kecil kami tak ada yang serius. Hidup ini diperlakukan enteng-enteng saja. Orang bisa mengobrol di kedai kopi sepanjang hari, bertukar kelakar, berdebat soal politik sambil meninju-ninju meja, hanya ditemani secangkir kopi. Dan, jangankan gusar, pemilik kedai malah ikut nimbrung. Kadang-kadang Haji Johansyah Kuala juga meluangkan waktu mampir ke situ, sekadar hendak mengetahui apa yang jadi buah bibir. Di kedai kopi itu jugalah dia menceritakan kisah perjalanan si ompong tadi. Dari kedai kopi itu kelakar tadi dengan cepat menyebar ke seluruh pojok kota, membuat yang mendengarkan maupun yang menceritakannya kembali cekikikan.
Kalau ada orang yang mampir ke tokonya, sekadar melihat-lihat, pasti kena. Rayuannya maut, membikin orang kesengsem. Dia pandai mengumbang hati calon pembeli, membuat mereka bangga dan dengan begitu gampang mengeluarkan uang untuk membeli. Tak ada yang lolos dari perangkap kata-katanya yang membujuk.
“Ah,” katanya tersenyum seraya menelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mematut-matut kopiah di kepala tamunya. “Aimak jang, macam Soekarno kau, ah….” Dibandingkan dengan seorang presiden yang gagah, tentu hati orang itu pun kontan luluh dibuatnya.
Suatu ketika, di depan tokonya mondar-mandirlah seseorang yang kelihatannya sedang berpikir keras. Secepat kilat datanglah ilham menyambar Haji Johansyah Kuala. Dengan hangat dia ajak orang itu masuk ke tokonya.
“Nampakku adik seperti kebingungan. Ada apa rupanya?” tanyanya dalam dialek Melayu.
“Tak ada apa-apa.”
Tahu kalau orang itu datang dari luar kota, Haji Johansyah Kuala berkata: “Begini. Ini, ada can [dari bahasa Inggris chance]. Bisa awak carikan lintah barang dua ember besar?”
“Ah, bisalah, kenapa rupanya?”
“Itu,” katanya menunjuk ke arah apotek yang terletak tak jauh di persimpangan jalan. “Sudah lama apotek itu mencari-cari lintah, bakal obat. Kalau mau, bawalah barang beberapa ember. Jangan lagi awak tanya, bawa sajalah langsung ke situ….”
Percaya. Orang itu cepat-cepat pulang ke kampung. Pergilah dia ke rawa-rawa mencari sarang lintah. Dicemplungkannya kaki sampai sebatas paha, menunggunya beberapa lama, maka bergelayutanlah lintah di kakinya itu. Dia tinggal memungut. Tak sampai setengah hari terkumpullah dua ember besar lintah. Dengan perasaan enteng orang itu menenteng lintah tadi ke kota, dan membawanya ke apotek di persimpangan jalan tadi.
“Hah…?! Pak Haji Johan yang menyuruhku membawa kemari. Hah…?! Haji dia, mana mungkin mambongak [berbohong]. Katanya, sudah lama Bapak mencari-cari lintah,” tangkis orang itu ketika pemilik apotek terduduk karena terperanjat melihat dua ember penuh lintah bergerak mengingsut-ingsut menjijikkan.
Begitu mendengar nama Haji Johansyah Kuala, wajah pemilik apotek cepat berubah dari kaget menjadi senyum yang ditahan. “Kena aku…,” gerutunya dalam hati. Tanpa banyak pikir langsung dia bayar. Orang dari kampung itu pulang dengan kantong yang padat. Sementara si pemilik apotek harus mencari seseorang untuk menyingkirkan ribuan lintah tadi. Satu yang tidak akan dikerjakan pemilik apotek itu, menceritakan pengalamannya kepada orang lain. Tetapi, buat Haji Johansyah Kuala kejadian yang dia rancang itu harus selekas mungkin disampaikan kepada seluruh warga kota. Sorenya, dia mampir ke kedai kopi. Dan seisi kota pun terbahak-bahak dibuatnya.
Lelucon terkadang memakan tuannya. Kami, anak-anak di perguruan Gubahan Islam, suatu hari datang menyampaikan keluhan kepadanya. Pasalnya, guru mengaji kami, Haji Saibun Keramat, terlalu keras. Tangannya tak lepas dari cambuk. Keliru sedikit saja, salah melafalkan H kecil menjadi H besar, misalnya, cambuk rotan itu menyambar lengan atau paha.
“Ah, mudah nya itu. Ambil kalian cambuknya itu, surukkan,” kata Haji Johansyah Kuala enteng.
Kami pulang. Dengan nekat cambuk rotan yang selalu mengancam itu dicuri oleh seorang teman. Teman yang pemberani itu pula yang menyuruk-nyuruk masuk ke toko Haji Johansyah Kuala dan menyembunyikan cambuk di kolong mejanya. Tempat pengajian geger. Haji Saibun Keramat mogok. Berhenti mengajar, tak apa-apa, toh bukan aku yang rugi, aku tak dibayar, katanya dalam hati. Dia hanya mau mengajar lagi kalau cambuk itu dikembalikan. Kami, anak-anak, tak kehilangan akal. Berangkatlah kami ke kedai kopi dan membocorkan kabar kalau cambuk itu disembunyikan Haji Johansyah Kuala di kolong mejanya.
Kota kecil kami terkekeh-kekeh mendengar Haji Johansyah Kuala yang menyembunyikan cambuk rotan Haji Saibun Keramat. Bagi kami, anak-anak di Gubahan Islam, lelucon ini membawa berkah. Entah apa yang dikatakan pedagang kopiah satu-satunya itu. Nyatanya guru mengaji kami sudah tidak mengamang- amangkan cambuknya lagi.
Ayahku juga pernah kena. Dan aku tahu mengapa Haji Johansyah Kuala memilihnya sebagai korban. Ayah memang satu-satunya pedagang yang bisa bersaing dan paling maju, sekalipun di sekelilingnya para pedagang Tionghoa. Tetapi, kedekutnya bukan main. Bergaul, mampir di kedai kopi tak pernah mau. Suatu pagi, ketika aku membuka pintu hendak menyapu, di kaki lima menimbun kangkung, membenteng seperti bukit. Sehingga orang tak bisa lewat. Tertegun sebentar, aku pun tahu ini perbuatan siapa. Untuk pertama kali aku melihat hidung ayah, yang besar seperti hidung Yahudi, memerah, kembang kempis, dengan tawa yang tertahan, membuat dia jadi sosok yang ramah dan murah hati.
“Udahlah, kalau bukan ulah Si Haji Johan, siapa lagi,” katanya dan memerintahkan aku menyingkirkan kangkung itu. Diperlukan enam becak untuk memindahkannya ke pasar. Sesaat, dalam jarak sekitar lima puluh meter, dari balik tiang toko kopiah satu-satunya di kota kami, menyembul separuh wajah. Aku tahu itu pasti Haji Johansyah Kuala yang sedang menikmati skenario yang dia tulis. Dan sebentar lagi kedai kopi akan riuh- rendah dan seluruh kota tertawa.
Seumur hidupnya hanya sekali dia ditimpa duka. Pada akhir tahun 1965 tentara datang mengambilnya dan menahannya beberapa bulan. Tuduhannya: dia menyumbangkan kopiah untuk pementasan teater guna meramaikan ulang tahun Partai Komunis Indonesia. Dalam adegan teater itu tampil Soekarno dan Hatta yang berkopiah, memproklamasikan Indonesia merdeka. Dicekam ketakutan, bertahun-tahun kota kami murung. Diam-diam kami sadari betapa berharganya tawa, hikmah hidup yang diturunkan Tuhan dan dijaga Haji Johansyah Kuala selama berpuluh-puluh tahun dalam hidupnya. Sementara kekuasaan yang lalim membungkamnya.
Jasad Haji Johansyah Kuala dibaringkan di atas lantai kereta jenazah yang terbuat dari sebilah papan lebar, dari batang pohon pilihan, yang ditebang di rimba Nantalu. Empat roda sepeda menjadi alat peluncurnya. Di belakang, mengiringi para pembaca salawat, yaitu orang-orang pilihan, teman-teman dekatnya, yang tahan tidak akan tersenyum, apalagi tertawa sepanjang perjalanan menuju pekuburan. Suasana duka memang terasa menindih. Tetapi, ada perasaan lain yang lebih mengimpit: kehilangan seorang penghibur dengan lelucon-lelucon yang bisa menjadi bahan tertawaan berbulan-bulan lamanya.
Mereka yang pernah jadi korban dalam lelucon-leluconnya bergerombol di bagian tengah prosesi. Di bagian iring-iringan ini suasana duka bercampur gelitik tawa amat terasa. Di antara mereka kulihat bekas guru mengajiku. Juga ayahku, dengan hidungnya yang besar memerah, bibir yang dikulum menahan senyum, supaya jangan sampai pecah menjadi tawa. Sebentar-sebentar mereka saling berbisik, kemudian nyengir. Wajah memerah dikilik kenangan pada lelucon almarhum.
Aku ingat, ribuan penduduk kota mengantar penganjur Islam paling berpengaruh, Haji Hubban Haitami, ketika dia meninggal. Tetapi, untuk kehilangan yang satu ini, tidak hanya ribuan pelayat, jantung kota pun ikut berhenti dibuatnya. Untuk pertama kali orang-orang Tionghoa menutup rumahtoko mereka sebagai tanda duka atas kehilangan seorang haji, yang buat mereka tidak hanya menenteramkan sikap keagamaannya, tetapi juga membuat hidup jadi ria, menjauhkan permusuhan, berkat lelucon yang dipilihnya sebagai dakwah.*

Hari Yang Istimewa

Jika ibarat kita mendapatkan sejumlah uang yang banyak apa yang akan anda lakukan. Shoppping, ditabung, beramal, bagi-bagi ke teman, dsb. Memang sangat dilematis jika kita mendapatkan sesuatu yang memang membuat kita menjadi buta. Hanya segelintir orang yang tak begitu. Aku tak membayangkan jika aku di dunia ini hanya sperti iu saja. Tak menjadi apa-apa, yang aku inginkan adalah "apa-apa"yang aku ingikan terwujud. Mungkin sudah banyak orang bilang, "Hidup adah perjuangan", "Hidup adalah perjuangan", memang itu penafsiran setiap individu berbeda-beda. Hakikat manusia hidup adalah tak sekedar mampir "ngopi", pernah ada pernyataan seperti itu.
Jika anda mendapati dan sadar dengan  sesadarnya ada sekarang sudah berumur berapa?, apa yang sudah kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita?, sejauh mana manfaat hidup kita?
Di hari yang istimewa ini aku ingin langkahku kedepan menjadi lebih terang, menjadi matang dalam segala hal, menjadi berarti bag semua orang, terakhir semoga tak lama lagi ada pengisi hatiku? Hah....?

10 Nov 2009

SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN Cerpen Umar Kayam



Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya.
Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis.
Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini.
Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik.
Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas.
Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja.
Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”

“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa.
Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.


7 Nov 2009

MOKSA Cerpen Putu Wijaya


Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi-nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon.
"Hallo, ini pasti kamu Moksa!"
"Bener, Pak."
"Kamu kan janji mau pulang.
Jam begini kamu kok belum datang?"
"Moksa tidak jadi pulang."
"Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu."
"Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu."
"Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!"
"Udah beres!"
"Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood."
"Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu."
"Tapi kamu kan butuh duit..."
"Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!"
"Tunggu!"
"Tidak bisa, ini coinnya sudah habis."
Telepon putus.
Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa ditanya lantas ngomong.
"Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan menelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.
"Kenapa, Dok?"
"Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"
Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie.
"Mari menyusun, bunga Seroja......"
Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.
"Moksa nelpon ya?"
Dokter menarik napas panjang.
"Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."
Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.
"Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"
Istri dokter Subianto duduk di kursi.
"Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."
"O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya."
"Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah sekarang aku menceritakan kepada kamu."
"Apa lagi apologinya kali ini?"
"Bukan apologi."
"Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!"
Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.
"Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita itu dengan mata berkaca-kaca.
"Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."
Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar.
"Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"
Nyonya dokter berhenti menangis.
"Masak mencuri!"
"Habis apa? Kamu kok menangis?"
"Aku menangis karena terharu."
"Kenapa terharu?"
"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"
"Apa?"
"Ngamen!"
Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan.
"Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya.
Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya dengan senang hati."
Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu harus dibanggakan.
Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.
Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien.
Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.
"Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sampai habis. Ini ada 4 macam."
Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang.
"Kok banyak sekali Dokter?"
"Bisa diambil separuhnya saja dulu."
"Ini kira-kira berapa Dokter?"
"Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."
Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.
"Kenapa?"
"Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya.
Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?"
Dokter Subianto terkejut.
"Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."
"Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"
"Ya betul."
"Maaf, kalau tidak salah, kidal?"
"Betul."
Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.
"Kenapa? Bapak kesakitan?"
Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita.
"Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang saya untuk berobat ada di dalamnya.
Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?"
Dokter Subianto tercengang.
"Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"
"Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"
"Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"
"Saya tidak tahu. Mungkin tidak."
"Berapa isi dompet Bapak?"
"Seratus ribu."
Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.
"Ini. Tebuslah resep itu."
Orang itu tercengang. Nampak agak malu.
"Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.
Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.
"Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu."
Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan.
"Selamat malam."
Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja.
"Bangsat!"
Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok.
Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke pesta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu.
"Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?"
Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman.
"Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang."
Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping bapaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara.
"Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado."
"O Ibu udah cerita?"
"Ya. Dapat berapa?"
"Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya."
"Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?"
Moksa tersenyum.
"Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?"
"Ya bener dong, masak tidak."
Subianto mengangguk.
"Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hitam?"
Moksa mengerling.
"Kok Bapak tahu?"
"Ibu kamu menceritakan semuanya."
"Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu."
"O ya?"
"Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya lain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen betulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."
"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?"
"Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit."
"O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?"
"Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moksa, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil Moksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak. Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnceritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami ngobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karena rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pulang."
Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil.
"Kenapa Pak? Ngantuk?"
Subianto menggeleng.
"Nggak. Aku hanya terkejut."
"Kenapa?"
"Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang."
"Ditipu bagaimana?"
"Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!"
"O ya? Kok bisa?"
Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian.
"Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?"
"Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia menjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Habis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen. Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal uang itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terpaksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia pasti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, dia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan kejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati."
Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mesin kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubruk pagar.
Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai.
"Kamu anak hebat.
Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"
Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tidur di situ menyepi.
Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa sudah gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan sempat memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawasi terus. Sekarang sudah terlambat.
"Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara blak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya dengan geram.
Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebentar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang.
"Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius sekali," kata istrinya.
Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu berbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pintu. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi.
"Selamat siang, Pak.
Bapak nggak ke kantor?"
"Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan.
Kamu mau bicara dengan Bapak?"
"Ya."
Subianto memandangi Moksa tajam.
"Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?"
"Tidak."
"Tidak? Lalu apa?"
Moksa terdiam.
"Ada apa Moksa?"
Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran.
"Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?"
Giliran Subianto yang terkejut.
"Maksudmu apa?"
"Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang seratus ribu itu!?"
"Betul."
"Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!"
Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras.
"Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"
Subianto mengalihkan pandangan.
Itu pertanyaan yang sulit.
"Kenapa Pak?"
Subianto menghela napas.
"Karena kasihan?"
"Tidak. Kenapa kasihan?"
"Kalau begitu kenapa?"
"Karena aku percaya kepada kamu, Moksa."
Moksa termenung beberapa lama.
"Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?"
"Ya dong!"
"Jadi masih percaya?"
Subianto menarik napas.
"Ya dong! Kenapa tidak?"
Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusaha menahan perasaannya.
"Kamu menangis Moksa?"
Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya.
"Kenapa kamu menangis?"
"Moksa malu, Pak."
"Malu? Kenapa?"
"Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku."
Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi bapaknya.
"Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesempatan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Moksa kesempatan?"
Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Akhirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung.
"Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kamu akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaikan dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecuali kepada orang tuamu yang menyayangimu?!"
Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapaknya. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.
"Maap Pak."
Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak itu menangis kembali.
"Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa.
Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa pergi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan katakan sama Ibu, ya Pak!"
Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak yang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, kemudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibunya keburu masuk.
Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-tiba anak itu memeluk.
"Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat. Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Moksa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen."
Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita itu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat.
"Jangan, biar saja dia pergi."
Perempuan itu bingung.
"Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya."
Subianto menggeleng.
"Kita harus memberi dia kepercayaan."
"Tapi...mungkin dia perlu uang!"
Subianto menggeleng.
"Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!"
Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengembangkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan bubuk jahanam.
"Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan."
Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba tenang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu.
"Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sambil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu.
"Kita lawan semua ini dengan kepercayaan."
"Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"
"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, betapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!"
Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sendiri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya.


22 Okt 2009

Anjing-anjing Menyerbu Kuburan
Cerpen Kuntowijoyo

IA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.
Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya. Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah disebarkan dari desa ke desa, seperti api yang membakar jerami kering di sawah.
Dengan celana dan baju tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam, plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah dengan gelap malam.
“Ke mana, Kang?” Tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.
“Ronda”.
“Bukan harinya kok ronda?”
“Hh”
Ia tahu orang desa akan menjaga kuburan itu sepanjang malam. Mereka akan bergerombol di sekitar petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kepala, mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. Ia telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus dikerjakan ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.
Ia mengendap-endap dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari daun kepala itu.
“Mati kau! Terimalah, ini as!” kata orang itu sambil membantingkan kartunya di tikar plastik. Ia menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra.
“Rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen.” Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang keempat dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang kelima kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa. Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.
Kentong terdengar lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang mulai mengantuk. “Oahem suk ruwah mangan apem,” kata seorang keras-keras, sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras keempat kalinya.
***
IA menunggu sebentar. “Sabar, sabar, bekerja itu jangan grusa-grusu,” katanya pada diri sendiri. Ia keluar dari gelap.
Dilihatnya orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Seorang pemain kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan. Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik berhenti berbunyi. Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang dan mencari tambatan, tertidur di seberang tempat. Angin berhenti mengalir. Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya.
Ia mendekati kuburan baru. Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru. Dia mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir baginya. Dan yang akan membuatnya kaya-raya telah memintanya bertapa tujuh hari tujuh malam, dan mencari daun telinga orang meninggal pada hari Anggara Kasih. Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya.
Pendek kata, tujuh hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhirnya! Kuburan orang yang meninggal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia perlu bekal beras kuning dari guru.
Tidak, bukan karena ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya. Karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anak-anaknya akan memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak. Ia akan membelikan truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan membuka warung-warungan di rumahnya, sekedar untuk menutupi kekayaannya yang bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan dimintanya danyang hanya mencuri harta orang-orang kaya yang serakah. Setelah kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyangnya.
Sekalipun jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, menggali kuburan dengan tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali. Peti kayu itu sudah tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikirnya. Kayu-kayu dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan menutup mayat. Agak kesulitan dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat. Akhirnya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.
Mayat itu dingin dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruangan terlalu sempit baginya untuk menggigit dua telinganya. Ia memutuskan untuk menaikkan mayat itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah.
Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.
***
DITERANGI bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab ia lupa bersila khidmat, “Demi periprayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu, izinkanlah cucumu bekerja.” Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa bekerja cepat.
Ketika ia membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing menyambar. Dia membatalkan niatnya, menggunakan tangan untuk mengusir anjing itu. Anjing yang tiga ekor berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu. Didengarnya ada anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam. Mereka segera menyerbu mayat.
Celaka, anjing itu menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia mau menggigit telinga ada saja mengganggunya. Kalau saja anjing-anjing itu mau diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya biarlah untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing.
Sebagai orang desa matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakan ialah mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan. Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayu-kayu itu. Dia mengamuk dengan kayu-kayu itu di tangan. Ternyata hasilnya lumayan. Anjing-anjing itu menepi dari mayat.
Itu memberinya kesempatan untuk kembali membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana : menggigit telinga-telinga dan pergi. Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu dan “sh sh sh” ia berhasil mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia membungkuk.
Darah di jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak. Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu yang makin lemah.
Suara-suara mereka yang gaduh dan lolongan– sebagian lolongan karena kesakitan – telah membangunkan orang-orang yang menjaga kuburan.
Orang-orang itu masih sempat melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhirnya ia terjatuh, tak sadar. Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang datang. Mereka memandangi mayat dan laki-laki pingsan itu.
“Pencuri!” kata seorang.
“Penyelamat!” kata yang lain.
Tak Terduga
Cerpen Kukuh A. Bakhtiar

Tepat pukul 05:45 aku tebangun, dirumah Andreas teman SMP ku dulu, yang kental sekali gaya Eropanya. Terlalu sembrono bagiku mendahului sang mentari. Entah apa yang membangunkanku. Teman-temanku masih asik bercumbu dengan mimpinya dengan tidurnya. Setelah melewati malam, sambil nonton bola bareng. Hujan deras membasahi piggiran kota yang masih perawan, yang belum terjamah oleh globalisasi. Gelap dan sunyi. Tampak bebrapa orang yang mulai mengadu hari. Seorang nenek tua berjalan menggendong bakul. Tampak kontras dengan globalisasi jaman sekarang, yang semakin menggerus kearifan lokal.
Aku beranjak pulang, tanpa pamit aku langsung mengeber si Blacky, Vespa butut tinggalan bapak. Seklebat terbayang dalam benakku. Baru setengah jalan hujan deras megguyur.
Disebuah warung makan kecil di pinggir jalan aku berhenti rasanya perut ini berontak. Sambil menunggu hujan reda menghirup segelas kopi, dengan rokok kretek, rasanya kurang afdol jika membuka hari tanpa kopi dan rokok. Bukanya latah dengan istilah Mbah Surip yang terkenal itu, ”Perbanyak ngopi, kurangi tidur”, tapi memang sudah lama menjadi gaya hidupku. Aku duduk berjajr dengan laki-laki paruh baya, yang katanya tukang becak.
”Akhir-akhir ini hujan begitu lebat dan tak tentu, sekarang hujab besok terang benderang”.
”Iya”.
” Kalau hari-hari biasa saja sepi apalagi kalau hujan begini”, keluhnya.
”Oh, ya pak”
”Mungkin orang-orang sudah gengsi naik becak”.
Obrolan itu terhenti bersamaan telepeon genggamku berdering.
”Sebentar pak. Wa’alaikum salam halo, ada apa dhek?”
”Sudah bangun toh, dari tadi telepon tidak diangkat-angkat”.
”Maaf dik mungkin tadi mas masih tidur”.
”Ya sudah, nanti sore jadi ke rumah?”.
“Iya, baik, wa’alaikum salam”
Sudah hampir 1 tahun menjalin kasih dengannya. Baru kali ini aku menemui gadis yang tak hampir tak tersentuh oleh glamournya hidup seorang wanita jaman sekarang. Hanya kesederhanaan, dan satu yang sangat aku kagumi. Gadis sholehah yang sekarang bekerja sebagai apoteker. Bagai sebuah emas di atas hamparan pasir Sahara. Yang telah membuatku mabuk, kata Meggy. Z anggur belum seberapa. Setelah itu aku melewati aspal basah yang dipenuhi kendaraan menyambut penatnya hari. Membuat dunia ini semakin sempit. Tak berapa lama aku buka jeruji gerbang bengkel motor tua peninggalan bapak. Aku berniat menyelesaikan servis Pitung yang harus jadi nanti siang. Aku jadi berpikir ibarat Pitung ini, motor lintas jaman. Walaupun aroma kapitalis makin merebak, tapi masih ada yang menggandrunginya. Berharap seperti cintaku kepada Umi. ”Ahh..selesai juga”. Sambil istirahat aku berbaring di kursi bambu, yang kalau habis bangun punggung pegel-pegel.
Jam 14.30 aku terbangun, kali ini bukan mimpi buruk, yang hampir ada di cerita-cerita. Aku melihat disamping ranjang Umi sedang berdzikir. Rupanya dia habis sholat Tahajjud. Dia begitu permata hatiku yang takkan kubiarkan hilang dari dadaku.
“Eh..bangun ya mas, maaf kalau mungkin dzikir saya membangunkan Mas”.
“Oh ndak dhek, aku tak tau kenapa tiba-tiba terbangun”. Terima kasih ya Allah Kau anugerahkan dia kepada hamba”. Aku pergi ke WC. Aku tak henti-henti berpikir. Apakah saya pentas sebagai pendamping hidupnya?.
Setelah selesai buang hajat sebentar, aku kembali ke kamar. Dari balik pintu aku mendengan sepatah do’a Umi, dia berkata,”Ya Allah selama ini hidup hamba hanya selalu berbakti kepada Mu, hamba sudah bersukur masih dapat menjalani hidup untuk memuja Mu. Satu hal yang tak pernah aku lepas dalam do’a hamba. Mas Wisnu yang telah menjadi belahan jiwaku, saya akan tetap menjaga biduk cintaku bersamanya. Dia belum sepenuhnya menjadi hambamu, tapi itu takkan sederajatpun aku berpaling darinya. Ya Allah sekali lagai terima kasih. Semoga hidup kami abadi dunia akherat. Amin-amin ya rabbal ala’min”. Mendengar semua itu aku tahu, bahwa dialah yang terbaik untuk. Meneriama semua keadaanku yang sperti ini. Aku langsung membuka pintu kamar. Umi kaget karena kehadiranku mengagetkannya, melepas mukena mas kawin pernikahan kami. Takkan ku buang waktu. Ku dekap tubuhnya. Ku cium rambutnya, wangi surga membuat aku makin bergairah. ”Dhek sekarang dan selamanya, hanya kita berdua”. Setelah itu, pagi buta menjadi saksi sebuah karya abadi dua insan yang sedang memadu indahnya dunia.
Di pintu kamar aroma kopi berdesakkan, rasanya ingin cepat-cepat membangunkanku. Aku pun terperanjat tanpa rambu-rambu aku munyusuri dari mana aroma itu, ternyata Umi sudah menyiapkan segelas kopi lengkap dengan rokok kretek kesukaanku, tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Allah. Aku sekarang masih meneruskan usha bengkel bapak. Dengan mempekerjakan 2 orang.
”Mi...mi...Umi!!”
”Di dapur mas, lagi nyuci piring”.
Aku pergi ke arah dapur dan segera memeluknya dari belakang, “Ih mas genit!, bantuin!”. Niat jahilku aku percikan air ke arahnya, langsung dia geram, dan langsung membalasnya.
Byurrrrrr........!!!!!!
”Heh!, bangun itu ada tamu katanya mau ngambil motor, kamu ini
dari kemarin kemana saja”.
Ibuku, wanita pertama yang paling aku cintai. Semenjak sepeninggal bapak 3 tahun lalu, aku menjadi tulang punggung keluarga aku hidup berdua dengan ibu. Berkat keahlianku sekolah di STM, aku meneruskan bengkel bapak. Walaupun ibu PNS aku tak mau menjadi beban wanita paling tegar ini. Aku selalu ingat pesan bapak bahwa laki-laki adalah kepala keluarga jadi harus belajar melawan kerasnya hidup dan yang paling penting kejarklah masa depanmu yang cerah. Walaupun yang kedua ini belum dapat terwujud sepenuhnya. Ibu sekarang masih menjadi guru SD, tinggal 5 tahun lagi Ibu pensiun. Aku sangat menghormati beliau, walaupun kadang aku sulit diatur, malas sholat. Tapi ibu tak pernah bosan-bosannya memarahiku. Tapi semenjak aku mengenalkan Umi kepada Ibu aku sedikit mulai sholat. Walau terkadang masih bolong-bolong.
”Maaf mas tadi ketiduran, ini motornya sudah jadi. Cuma karburatonya kotor, terus busi mati. Sudah diganti dengan yang baru”
”Oh ya makasih, asli kan mas!”
”Asli mas, bener!!”
”Kan sekarang lagi jamannya palsu-palsuan. Jadi berapa mas, semuanya”.
”30 ribu mas!”
”Nih..!!!”
”Lho mas, belum ada kembalinya mas?”
”Ya..sudah, buat beli rokok saja”
”Waduh...Makasih banyak mas!”
”Sama-sama, ga mampir dulu?”
”Terima kasih, ada keperluan mas. Kapan-kapan saja”.
”Sekali lagi makasih, hati-hati mas!”
Alhamdulillah, kalini ada uang lebih.
”Di tabung, buat nikah sama Umi”.
Dari dalam mungkin ibu mendengar suaraku tadi. Mendengar nama Umi aku jadi ingat aku akan kerumahnya. Bergegas aku mandi, mengguyur tubuh yang udah bau oli ini. Setelah dadan cakep aku langsung kebut si Blacky. Dengan gaya ala anak muda metropolitan, tapi kalau dilihat alamak...!!.
Sampai juga di depan pintu gerbang rumah Umi, tinggi sekali sampai-sampai harus teriak saat mengucapkan salam. Tak berapa lama pintu dibuka. Wah..sperti khayalanku, seorang istri yang membukakan pintu, setelah suaminya selesai bekerja sungguh bahagianya.
”Mas..mas..mas Wisnu...”
”Ehh...ya dhek”.
“Ngelamun saja”.
“Apa yang aku pikirkan coba, aku membayangkan seorang istri yang membukakan pintu, setelah suaminya selesai bekerja”.
“Memangnya siapa yang kau bayangka itu?.”
”Kamu”.
”Gombal!”.
”Bapak sama ibu sudah dimenunggu dari tadi”.
“Waduh maaf ya dhek!”
“Engga apa-apa, kan Cuma terlambat sebentar.”
”Tapi kan jadi tidak enak sama orang tua mu...”
”Jangan ngomong seperti itu, belum apa-apa sudah ngeluh”. Potong Umi.
Setelah masuk rumah Umi, bapak ibu Umi sudah duduk di ruang tamu, sebelumnya aku agak kurang mantap. Sekarang tubuhku mendadak mati rasa. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tua Umi terhadapku. Aku bagai pecundang.
Tapi tiba-tiba apa yang terjadi.
”Lho kok berdiri saja, silakan duduk”.
Ibu Umi segera menyuruhku duduk di kursi ukir Jepara itu. Terdengar begitu lembut suarnya. Saat aku duduk kursi berbunnyi, ”kreeooottt...”. Bapaknya Umi yang sedang asik memberi makan ikan mas koki kesayangannya sesekali melirikku. Semoga perasaan tadi muncul lagi.
”Oh ini yang namanya Wisnu, Umi sudah cerita banyak tentang kamu, dan hubungan kalian berdua.”
Ternyata semua diluar dugaanku.

8 Okt 2009

ORANG INDONESIA YANG LATAH

Ada-ada saja tingkah si Indonesia ini, kadang diam tapi diam-diam anjing. yang siap mengigit orang yang mengganggu. Guk..gukk...
dan latah kaya banci kaleng...selalu ikut-ikutan apa yang sedang marak, tapi apa dia tahu. Bukanya takut dibilang ketinggalan jaman. haaaaa...bullshit. Tapi aku tetep cinta INDONESIA..

1 Okt 2009

Mahasiswa Bukan Boneka Mainan Dosen

Mahasiswa Bukan Boneka Mainan Dosen
Impian bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, adalah kebanggaan bagi sebagian orang. Terlepas dari seragam SMA, status siswa menjadi mahasiswa. Tentunya diikuti dengan pola pikir yang berubah, dan juga dapat mengfungsikannya dengan tepat pada porsi masing-masing mahasiswa.Telah kita ketahui mahasiswa adalah agent of change, penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa.
Tentunya harus disertai dengan sarana prasarana yang menunjang. Tapi jangan selalu terpaku dengan hal itu, sebagai contoh kita tetap bisa berteriak tanpa harus menggunakan mikrofon atau speaker. Jadi tergantung bagaimana mahasiswa dalam menyalurkan kreatifitasnya. Teatapi tidak menomorduakan sarana prasarana, yang sewaktu-waktu dapat kita manfaatkan.
Hal ini juga berpengaruh di antara masalah yang dijelaskan di atas, yakni masih adanya beberapa dosen yang masih menganggap mahasiswa seperti sebuah boneka mainan yang dapat dimainkan sesuka hatinya. Dosen-dosen yang seperti demikian juga faktor yang mempengaruhi proses kreatifitas mahasiswa. Ada dosen yang merasa sombong dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya, yang sudah menempuh pendidikan lebih tinggi dan waktu yang cukup lama.Tak jarang dosen-dosen yang demikian adalah dosen yang sudah tua, bergelar doktor, professor.
Mereka mempersulit mahasiswa yang ingin benar-benar mencurahkan segala pemikiran yang dimilikinya. Dosen kerap memberi tugas, dan harus dikumpulkan tepat waktu. Apabila ada mahasiswa yang telat mengumpulkan tugas tidak diterima, ditolak mentah-mentah. Menurut mereka mahasiswa harus memiliki pemikiran yang sama dengan mereka. Jelas-jelas salah salah besar, karena setiap mahasiswa memiliki kadar pemikiran yang berbeda-beda. Satu sisi ingin bebas berkreasi tapi disisi lain mereka terpasung dengan sikap otoriter dosen. Pada umumnya mahasiswa adalah kaum muda yang sedang bergairah dalam proses mengekspresikan diri mereka. Seringkali tercetus pemikiran yang belum tentu dapat dimengerti dosen. Tanpa toleransi, itu yang patut dikatakan. Hal yang lain adalah setiap manusia dikaruniai skill dan bakat yang beragam. Apabila tidak dikembangkan, akan sia-sia. Padahal menurut Kuncoroningrat, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bisa mengembangkan potensi yang dimiliki individu tersebut.
Idealnya mahasiswa dapat terbantu dalam pencarian jati dirinya, bukan sebaliknya. Manakala dosen menentukan segala kebijakan dalam proses perkuliahan, dipastikan banyak hal yang tidak dapat tersampaikan. Jika tetap demikian dosen tetap dengan egonya, proses transfer ilmu dan nilai dari ilmu tersebut akan tersumbat. Selama ini dosen cenderung hanya melakukan transfer ilmunya, tetapi mengabaikan nilai-nilai kearifan budaya dan agama yang dapat digali dari sebuah ilmu.
Jangan menilai mahasiswa dari luarnya saja. Disini civitas akademika bukan SMA,SMP, SD, bahkan TK. Dalam pengaplikasian apa yang didapat di bangku kuliah lebih banyak yang behubungan dengan soft skill yang bukan didapat dari mata kuliah, makalah, praktikum, tugas, ataupun skripsi. Tapi bagaimana dia

ROBOHNYA SURAU KAMI

Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Cerpen ini dipandang sebagai salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia[1].
Buku Robohnya Surau Kami ini berisi 10 cerpen: Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa.
Di dalam setiap cerpennya di buku ini, A.A. Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu - yang masih relevan di masa sekarang ini.
Cerpen "Robohnya Surau Kami" bercerita tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau (masjid yang berukuran kecil)di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia - si Kakek, meninggal dengan menggorok lehernya sendiri setelah mendapat cerita dari Ajo Sidi-si Pembual, tentang Haji Soleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid, persis yang dilakukan oleh si Kakek. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah dari A sampai Z ia laksanakan semua, dengan tekun.Tapi, saat "hari keputusan", hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka. Haji Soleh memprotes Tuhan, mungkin dia alpa pikirnya. Tapi, mana mungkin Tuhan alpa, maka dijelaskanlah alasan dia masuk neraka, "kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang." Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi yang mengetahui kematian Kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.

Mengenai Saya

Foto Saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Lahir di Banyumas, Jawa Tengah. dengan nama Kukuh Aji Bakhtiar. tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, fakultas KIP. Aktif di kegiatan UKM Teater PERISAI

Free Templates

Tab 1.1
Tab 1.2
Tab 1.3
Tab 2.1
Tab 2.2
Tab 2.3
Tab 3.1
Tab 3.2
Tab 3.3