Hello... Responsival Theme is another template for Blogger users. PLAY with this responsive design and SEE the release on my blog.

22 Okt 2009

Anjing-anjing Menyerbu Kuburan
Cerpen Kuntowijoyo

IA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.
Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya. Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah disebarkan dari desa ke desa, seperti api yang membakar jerami kering di sawah.
Dengan celana dan baju tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam, plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah dengan gelap malam.
“Ke mana, Kang?” Tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.
“Ronda”.
“Bukan harinya kok ronda?”
“Hh”
Ia tahu orang desa akan menjaga kuburan itu sepanjang malam. Mereka akan bergerombol di sekitar petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kepala, mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. Ia telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus dikerjakan ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.
Ia mengendap-endap dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari daun kepala itu.
“Mati kau! Terimalah, ini as!” kata orang itu sambil membantingkan kartunya di tikar plastik. Ia menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra.
“Rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen.” Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang keempat dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang kelima kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa. Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.
Kentong terdengar lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang mulai mengantuk. “Oahem suk ruwah mangan apem,” kata seorang keras-keras, sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras keempat kalinya.
***
IA menunggu sebentar. “Sabar, sabar, bekerja itu jangan grusa-grusu,” katanya pada diri sendiri. Ia keluar dari gelap.
Dilihatnya orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Seorang pemain kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan. Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik berhenti berbunyi. Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang dan mencari tambatan, tertidur di seberang tempat. Angin berhenti mengalir. Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya.
Ia mendekati kuburan baru. Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru. Dia mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir baginya. Dan yang akan membuatnya kaya-raya telah memintanya bertapa tujuh hari tujuh malam, dan mencari daun telinga orang meninggal pada hari Anggara Kasih. Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya.
Pendek kata, tujuh hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhirnya! Kuburan orang yang meninggal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia perlu bekal beras kuning dari guru.
Tidak, bukan karena ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya. Karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anak-anaknya akan memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak. Ia akan membelikan truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan membuka warung-warungan di rumahnya, sekedar untuk menutupi kekayaannya yang bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan dimintanya danyang hanya mencuri harta orang-orang kaya yang serakah. Setelah kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyangnya.
Sekalipun jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, menggali kuburan dengan tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali. Peti kayu itu sudah tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikirnya. Kayu-kayu dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan menutup mayat. Agak kesulitan dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat. Akhirnya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.
Mayat itu dingin dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruangan terlalu sempit baginya untuk menggigit dua telinganya. Ia memutuskan untuk menaikkan mayat itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah.
Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.
***
DITERANGI bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab ia lupa bersila khidmat, “Demi periprayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu, izinkanlah cucumu bekerja.” Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa bekerja cepat.
Ketika ia membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing menyambar. Dia membatalkan niatnya, menggunakan tangan untuk mengusir anjing itu. Anjing yang tiga ekor berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu. Didengarnya ada anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam. Mereka segera menyerbu mayat.
Celaka, anjing itu menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia mau menggigit telinga ada saja mengganggunya. Kalau saja anjing-anjing itu mau diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya biarlah untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing.
Sebagai orang desa matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakan ialah mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan. Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayu-kayu itu. Dia mengamuk dengan kayu-kayu itu di tangan. Ternyata hasilnya lumayan. Anjing-anjing itu menepi dari mayat.
Itu memberinya kesempatan untuk kembali membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana : menggigit telinga-telinga dan pergi. Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu dan “sh sh sh” ia berhasil mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia membungkuk.
Darah di jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak. Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu yang makin lemah.
Suara-suara mereka yang gaduh dan lolongan– sebagian lolongan karena kesakitan – telah membangunkan orang-orang yang menjaga kuburan.
Orang-orang itu masih sempat melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhirnya ia terjatuh, tak sadar. Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang datang. Mereka memandangi mayat dan laki-laki pingsan itu.
“Pencuri!” kata seorang.
“Penyelamat!” kata yang lain.
Tak Terduga
Cerpen Kukuh A. Bakhtiar

Tepat pukul 05:45 aku tebangun, dirumah Andreas teman SMP ku dulu, yang kental sekali gaya Eropanya. Terlalu sembrono bagiku mendahului sang mentari. Entah apa yang membangunkanku. Teman-temanku masih asik bercumbu dengan mimpinya dengan tidurnya. Setelah melewati malam, sambil nonton bola bareng. Hujan deras membasahi piggiran kota yang masih perawan, yang belum terjamah oleh globalisasi. Gelap dan sunyi. Tampak bebrapa orang yang mulai mengadu hari. Seorang nenek tua berjalan menggendong bakul. Tampak kontras dengan globalisasi jaman sekarang, yang semakin menggerus kearifan lokal.
Aku beranjak pulang, tanpa pamit aku langsung mengeber si Blacky, Vespa butut tinggalan bapak. Seklebat terbayang dalam benakku. Baru setengah jalan hujan deras megguyur.
Disebuah warung makan kecil di pinggir jalan aku berhenti rasanya perut ini berontak. Sambil menunggu hujan reda menghirup segelas kopi, dengan rokok kretek, rasanya kurang afdol jika membuka hari tanpa kopi dan rokok. Bukanya latah dengan istilah Mbah Surip yang terkenal itu, ”Perbanyak ngopi, kurangi tidur”, tapi memang sudah lama menjadi gaya hidupku. Aku duduk berjajr dengan laki-laki paruh baya, yang katanya tukang becak.
”Akhir-akhir ini hujan begitu lebat dan tak tentu, sekarang hujab besok terang benderang”.
”Iya”.
” Kalau hari-hari biasa saja sepi apalagi kalau hujan begini”, keluhnya.
”Oh, ya pak”
”Mungkin orang-orang sudah gengsi naik becak”.
Obrolan itu terhenti bersamaan telepeon genggamku berdering.
”Sebentar pak. Wa’alaikum salam halo, ada apa dhek?”
”Sudah bangun toh, dari tadi telepon tidak diangkat-angkat”.
”Maaf dik mungkin tadi mas masih tidur”.
”Ya sudah, nanti sore jadi ke rumah?”.
“Iya, baik, wa’alaikum salam”
Sudah hampir 1 tahun menjalin kasih dengannya. Baru kali ini aku menemui gadis yang tak hampir tak tersentuh oleh glamournya hidup seorang wanita jaman sekarang. Hanya kesederhanaan, dan satu yang sangat aku kagumi. Gadis sholehah yang sekarang bekerja sebagai apoteker. Bagai sebuah emas di atas hamparan pasir Sahara. Yang telah membuatku mabuk, kata Meggy. Z anggur belum seberapa. Setelah itu aku melewati aspal basah yang dipenuhi kendaraan menyambut penatnya hari. Membuat dunia ini semakin sempit. Tak berapa lama aku buka jeruji gerbang bengkel motor tua peninggalan bapak. Aku berniat menyelesaikan servis Pitung yang harus jadi nanti siang. Aku jadi berpikir ibarat Pitung ini, motor lintas jaman. Walaupun aroma kapitalis makin merebak, tapi masih ada yang menggandrunginya. Berharap seperti cintaku kepada Umi. ”Ahh..selesai juga”. Sambil istirahat aku berbaring di kursi bambu, yang kalau habis bangun punggung pegel-pegel.
Jam 14.30 aku terbangun, kali ini bukan mimpi buruk, yang hampir ada di cerita-cerita. Aku melihat disamping ranjang Umi sedang berdzikir. Rupanya dia habis sholat Tahajjud. Dia begitu permata hatiku yang takkan kubiarkan hilang dari dadaku.
“Eh..bangun ya mas, maaf kalau mungkin dzikir saya membangunkan Mas”.
“Oh ndak dhek, aku tak tau kenapa tiba-tiba terbangun”. Terima kasih ya Allah Kau anugerahkan dia kepada hamba”. Aku pergi ke WC. Aku tak henti-henti berpikir. Apakah saya pentas sebagai pendamping hidupnya?.
Setelah selesai buang hajat sebentar, aku kembali ke kamar. Dari balik pintu aku mendengan sepatah do’a Umi, dia berkata,”Ya Allah selama ini hidup hamba hanya selalu berbakti kepada Mu, hamba sudah bersukur masih dapat menjalani hidup untuk memuja Mu. Satu hal yang tak pernah aku lepas dalam do’a hamba. Mas Wisnu yang telah menjadi belahan jiwaku, saya akan tetap menjaga biduk cintaku bersamanya. Dia belum sepenuhnya menjadi hambamu, tapi itu takkan sederajatpun aku berpaling darinya. Ya Allah sekali lagai terima kasih. Semoga hidup kami abadi dunia akherat. Amin-amin ya rabbal ala’min”. Mendengar semua itu aku tahu, bahwa dialah yang terbaik untuk. Meneriama semua keadaanku yang sperti ini. Aku langsung membuka pintu kamar. Umi kaget karena kehadiranku mengagetkannya, melepas mukena mas kawin pernikahan kami. Takkan ku buang waktu. Ku dekap tubuhnya. Ku cium rambutnya, wangi surga membuat aku makin bergairah. ”Dhek sekarang dan selamanya, hanya kita berdua”. Setelah itu, pagi buta menjadi saksi sebuah karya abadi dua insan yang sedang memadu indahnya dunia.
Di pintu kamar aroma kopi berdesakkan, rasanya ingin cepat-cepat membangunkanku. Aku pun terperanjat tanpa rambu-rambu aku munyusuri dari mana aroma itu, ternyata Umi sudah menyiapkan segelas kopi lengkap dengan rokok kretek kesukaanku, tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Allah. Aku sekarang masih meneruskan usha bengkel bapak. Dengan mempekerjakan 2 orang.
”Mi...mi...Umi!!”
”Di dapur mas, lagi nyuci piring”.
Aku pergi ke arah dapur dan segera memeluknya dari belakang, “Ih mas genit!, bantuin!”. Niat jahilku aku percikan air ke arahnya, langsung dia geram, dan langsung membalasnya.
Byurrrrrr........!!!!!!
”Heh!, bangun itu ada tamu katanya mau ngambil motor, kamu ini
dari kemarin kemana saja”.
Ibuku, wanita pertama yang paling aku cintai. Semenjak sepeninggal bapak 3 tahun lalu, aku menjadi tulang punggung keluarga aku hidup berdua dengan ibu. Berkat keahlianku sekolah di STM, aku meneruskan bengkel bapak. Walaupun ibu PNS aku tak mau menjadi beban wanita paling tegar ini. Aku selalu ingat pesan bapak bahwa laki-laki adalah kepala keluarga jadi harus belajar melawan kerasnya hidup dan yang paling penting kejarklah masa depanmu yang cerah. Walaupun yang kedua ini belum dapat terwujud sepenuhnya. Ibu sekarang masih menjadi guru SD, tinggal 5 tahun lagi Ibu pensiun. Aku sangat menghormati beliau, walaupun kadang aku sulit diatur, malas sholat. Tapi ibu tak pernah bosan-bosannya memarahiku. Tapi semenjak aku mengenalkan Umi kepada Ibu aku sedikit mulai sholat. Walau terkadang masih bolong-bolong.
”Maaf mas tadi ketiduran, ini motornya sudah jadi. Cuma karburatonya kotor, terus busi mati. Sudah diganti dengan yang baru”
”Oh ya makasih, asli kan mas!”
”Asli mas, bener!!”
”Kan sekarang lagi jamannya palsu-palsuan. Jadi berapa mas, semuanya”.
”30 ribu mas!”
”Nih..!!!”
”Lho mas, belum ada kembalinya mas?”
”Ya..sudah, buat beli rokok saja”
”Waduh...Makasih banyak mas!”
”Sama-sama, ga mampir dulu?”
”Terima kasih, ada keperluan mas. Kapan-kapan saja”.
”Sekali lagi makasih, hati-hati mas!”
Alhamdulillah, kalini ada uang lebih.
”Di tabung, buat nikah sama Umi”.
Dari dalam mungkin ibu mendengar suaraku tadi. Mendengar nama Umi aku jadi ingat aku akan kerumahnya. Bergegas aku mandi, mengguyur tubuh yang udah bau oli ini. Setelah dadan cakep aku langsung kebut si Blacky. Dengan gaya ala anak muda metropolitan, tapi kalau dilihat alamak...!!.
Sampai juga di depan pintu gerbang rumah Umi, tinggi sekali sampai-sampai harus teriak saat mengucapkan salam. Tak berapa lama pintu dibuka. Wah..sperti khayalanku, seorang istri yang membukakan pintu, setelah suaminya selesai bekerja sungguh bahagianya.
”Mas..mas..mas Wisnu...”
”Ehh...ya dhek”.
“Ngelamun saja”.
“Apa yang aku pikirkan coba, aku membayangkan seorang istri yang membukakan pintu, setelah suaminya selesai bekerja”.
“Memangnya siapa yang kau bayangka itu?.”
”Kamu”.
”Gombal!”.
”Bapak sama ibu sudah dimenunggu dari tadi”.
“Waduh maaf ya dhek!”
“Engga apa-apa, kan Cuma terlambat sebentar.”
”Tapi kan jadi tidak enak sama orang tua mu...”
”Jangan ngomong seperti itu, belum apa-apa sudah ngeluh”. Potong Umi.
Setelah masuk rumah Umi, bapak ibu Umi sudah duduk di ruang tamu, sebelumnya aku agak kurang mantap. Sekarang tubuhku mendadak mati rasa. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tua Umi terhadapku. Aku bagai pecundang.
Tapi tiba-tiba apa yang terjadi.
”Lho kok berdiri saja, silakan duduk”.
Ibu Umi segera menyuruhku duduk di kursi ukir Jepara itu. Terdengar begitu lembut suarnya. Saat aku duduk kursi berbunnyi, ”kreeooottt...”. Bapaknya Umi yang sedang asik memberi makan ikan mas koki kesayangannya sesekali melirikku. Semoga perasaan tadi muncul lagi.
”Oh ini yang namanya Wisnu, Umi sudah cerita banyak tentang kamu, dan hubungan kalian berdua.”
Ternyata semua diluar dugaanku.

8 Okt 2009

ORANG INDONESIA YANG LATAH

Ada-ada saja tingkah si Indonesia ini, kadang diam tapi diam-diam anjing. yang siap mengigit orang yang mengganggu. Guk..gukk...
dan latah kaya banci kaleng...selalu ikut-ikutan apa yang sedang marak, tapi apa dia tahu. Bukanya takut dibilang ketinggalan jaman. haaaaa...bullshit. Tapi aku tetep cinta INDONESIA..

1 Okt 2009

Mahasiswa Bukan Boneka Mainan Dosen

Mahasiswa Bukan Boneka Mainan Dosen
Impian bisa melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, adalah kebanggaan bagi sebagian orang. Terlepas dari seragam SMA, status siswa menjadi mahasiswa. Tentunya diikuti dengan pola pikir yang berubah, dan juga dapat mengfungsikannya dengan tepat pada porsi masing-masing mahasiswa.Telah kita ketahui mahasiswa adalah agent of change, penerus tongkat estafet kepemimpinan bangsa.
Tentunya harus disertai dengan sarana prasarana yang menunjang. Tapi jangan selalu terpaku dengan hal itu, sebagai contoh kita tetap bisa berteriak tanpa harus menggunakan mikrofon atau speaker. Jadi tergantung bagaimana mahasiswa dalam menyalurkan kreatifitasnya. Teatapi tidak menomorduakan sarana prasarana, yang sewaktu-waktu dapat kita manfaatkan.
Hal ini juga berpengaruh di antara masalah yang dijelaskan di atas, yakni masih adanya beberapa dosen yang masih menganggap mahasiswa seperti sebuah boneka mainan yang dapat dimainkan sesuka hatinya. Dosen-dosen yang seperti demikian juga faktor yang mempengaruhi proses kreatifitas mahasiswa. Ada dosen yang merasa sombong dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya, yang sudah menempuh pendidikan lebih tinggi dan waktu yang cukup lama.Tak jarang dosen-dosen yang demikian adalah dosen yang sudah tua, bergelar doktor, professor.
Mereka mempersulit mahasiswa yang ingin benar-benar mencurahkan segala pemikiran yang dimilikinya. Dosen kerap memberi tugas, dan harus dikumpulkan tepat waktu. Apabila ada mahasiswa yang telat mengumpulkan tugas tidak diterima, ditolak mentah-mentah. Menurut mereka mahasiswa harus memiliki pemikiran yang sama dengan mereka. Jelas-jelas salah salah besar, karena setiap mahasiswa memiliki kadar pemikiran yang berbeda-beda. Satu sisi ingin bebas berkreasi tapi disisi lain mereka terpasung dengan sikap otoriter dosen. Pada umumnya mahasiswa adalah kaum muda yang sedang bergairah dalam proses mengekspresikan diri mereka. Seringkali tercetus pemikiran yang belum tentu dapat dimengerti dosen. Tanpa toleransi, itu yang patut dikatakan. Hal yang lain adalah setiap manusia dikaruniai skill dan bakat yang beragam. Apabila tidak dikembangkan, akan sia-sia. Padahal menurut Kuncoroningrat, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang bisa mengembangkan potensi yang dimiliki individu tersebut.
Idealnya mahasiswa dapat terbantu dalam pencarian jati dirinya, bukan sebaliknya. Manakala dosen menentukan segala kebijakan dalam proses perkuliahan, dipastikan banyak hal yang tidak dapat tersampaikan. Jika tetap demikian dosen tetap dengan egonya, proses transfer ilmu dan nilai dari ilmu tersebut akan tersumbat. Selama ini dosen cenderung hanya melakukan transfer ilmunya, tetapi mengabaikan nilai-nilai kearifan budaya dan agama yang dapat digali dari sebuah ilmu.
Jangan menilai mahasiswa dari luarnya saja. Disini civitas akademika bukan SMA,SMP, SD, bahkan TK. Dalam pengaplikasian apa yang didapat di bangku kuliah lebih banyak yang behubungan dengan soft skill yang bukan didapat dari mata kuliah, makalah, praktikum, tugas, ataupun skripsi. Tapi bagaimana dia

ROBOHNYA SURAU KAMI

Robohnya Surau Kami adalah sebuah kumpulan cerpen sosio-religi karya A.A. Navis. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1956, yang menceritakan dialog Tuhan dengan Haji Saleh, seorang warga Negara Indonesia yang selama hidupnya hanya beribadah dan beribadah. Cerpen ini dipandang sebagai salah satu karya monumental dalam dunia sastra Indonesia[1].
Buku Robohnya Surau Kami ini berisi 10 cerpen: Robohnya Surau Kami, Anak Kebanggaan, Nasihat-nasihat, Topi Helm, Datangnya dan Perginya, Pada Pembotakan Terakhir, Angin dari Gunung, Menanti Kelahiran, Penolong, dan Dari Masa ke Masa.
Di dalam setiap cerpennya di buku ini, A.A. Navis menampilkan wajah Indonesia di zamannya dengan penuh kegetiran. Penuh dengan kata-kata satir dan cemoohan akan kekolotan pemikiran manusia Indonesia saat itu - yang masih relevan di masa sekarang ini.
Cerpen "Robohnya Surau Kami" bercerita tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau (masjid yang berukuran kecil)di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia - si Kakek, meninggal dengan menggorok lehernya sendiri setelah mendapat cerita dari Ajo Sidi-si Pembual, tentang Haji Soleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid, persis yang dilakukan oleh si Kakek. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah dari A sampai Z ia laksanakan semua, dengan tekun.Tapi, saat "hari keputusan", hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka. Haji Soleh memprotes Tuhan, mungkin dia alpa pikirnya. Tapi, mana mungkin Tuhan alpa, maka dijelaskanlah alasan dia masuk neraka, "kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang." Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, Kakek memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi yang mengetahui kematian Kakek hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.

Mengenai Saya

Foto Saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Lahir di Banyumas, Jawa Tengah. dengan nama Kukuh Aji Bakhtiar. tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, fakultas KIP. Aktif di kegiatan UKM Teater PERISAI

Free Templates

Tab 1.1
Tab 1.2
Tab 1.3
Tab 2.1
Tab 2.2
Tab 2.3
Tab 3.1
Tab 3.2
Tab 3.3